sebuah cerita fiksi,Horor,Humor,Dongeng dan kisah nyata

Wednesday, December 1, 2010

Berang Berang di Petang Merembang


“Datang lagi kau, yaa? Berombongan pula macam pawai Agustus-an!” Jaya mengomel meluapkan rasa kesalnya.

Sejak ikan-ikan yang dipeliharanya dari tiga bulan lalu makin menyusut, kini Jaya punya kebiasaan baru. Sepulang ngojek ia selalu menyempatkan diri mampir ke kolam ikan Guraminya. Mengintai berang-berang yang kerapkali menjadi pemangsa ikan-ikan di kolam itu. Usahanya tak sia-sia kali ini. Segerombolan berang-berang berbaris seperti prajurit tempur yang menuju medan perang. Berpapasan langsung tanpa basa-basi dengan Jaya yang hanya berjarak sekitar 6 meter dari mereka.

“Tak ada segan-segannya kalian denganku! Hmm,,, Awas! Kulempari mercon kalian sebentar lagi!” Jaya menggerutu, sambil melangkah masuk menuju rumah.

“Heran kali. Kenapa pula harus kolamku yang jadi sasaran berang-berang itu. Coba kolam Bang Fani saja, dia kan pelit orangnya. Panen ikan, seekor pun tak pernah dia berbagi. Lagi pula Ikan-ikan guraminya lebih banyak dari punyaku,” mengerumun rasa penasaran dalam hatinya.

Sementara itu berang-berang melancarkan aksi brutalnya di dalam kolam. Total chaos! Demikian niat yang tertanam mereka. Gerombolan binatang penganggu bagi para peternak ikan itu seakan tak terpengaruh dengan ancaman Jaya barusan. Mereka hanya menegaskan jati dirinya sebagai predator di komunitas rawa-rawa itu. Mengikuti hukum alam tentang rantai makanan yang menempatkannya pada posisi konsumen pemangsa ikan-ikan para peternak.

”Bub...blubuubb.. byuuuurr, byuuurr...,” air beriak di permukaan kolam. Seekor berang-berang di tepi kolam asik melahap gurami. Belum habis benar ikan malang itu dimakannya. Masih tersisa bagian ekor dan kepala. Ditinggalkannya saja tergeletak di atas rerumputan.

”Hari ini akan kutabuh genderang perang dengan mereka. Biar mereka tahu siapa aku, huh!” Jaya mendumel.

Ia melangkah masuk ke dapur. Di tungku tempat memasak, ia dapati arang-arang kayu bakar sisa menanak nasi pagi tadi. Ditumbuk halus, dan dicampur dengan minyak jelanta sisa menggoreng kerupuk. Mungkin terinspirasi oleh film Pasukan Khusus Navy Seal. Campuran minyak jelanta dan bubuk arang halus, ia jadikan masker penyamaran. Belang-belang hitam wajahnya kini.

Kali ini yang ada bukan Abdul Jaya. Anggota persatuan ‘Ojek Ramah di Segala Cuaca’. Sekarang dia mirip seorang personil pasukan khusus, dan tentunya dengan ‘special mission’ pula.

“Membabat habis musuh tanpa sisa, menyerang langsung ke jantung pertahanan,” demikian visi tempurnya.

Tuntas urusan dengan minyak jelanta dan bubuk arang dapur, Jaya masuk ke kamar tidur. Di depan kaca yang retak setengah, ia lama memandangi penampilannya kini. Topi baret coklat Pramuka milik Yanto keponakannya, ia kenakan untuk melengkapi penampilan sebagai seorang prajurit terlatih khusus.

Di bawah ranjang terletak sepucuk senapan ikan. Tak pelak lagi perlengkapan tempur dengan berang-berang itu segera saja ia raih. Tak lupa pula ia menjumput satu plastik penuh mercon-mercon cabai. Ia sengaja membelinya empat hari yang lalu. Sepertinya segala sesuatu telah direncanakan dengan baik oleh Jaya.

Suasana dalam rumah masih sepi saat itu. Kak Ruhiya, saudari kandungnya belum pulang dari berdagang pakaian bekas di kiosnya belakang Pasar Lopak. Biasanya Jaya dan kakaknya pulang berbarengan. Tapi entah kenapa Jaya hari ini tidak membonceng pulang Kak Ruhiya. Yanto sang keponakan semata wayang juga tak terlihat. Seperti biasa ia masih berada surau belajar mengaji dengan Pak Ustadz Nurman. Jadi Jaya begitu bebas berekspresi dengan gaya militernya saat ini.

”Satu langkah samping kiri, Jalan! Tegap senjata, gerak!” perintah Jaya lantang pada dirinya sendiri di depan cermin kamar.

“Hmm, aku sekarang sudah siap tempur. Gerakanku nanti tidak boleh tercium berang-berang kurang ajar itu,” benaknya mulai mengatur strategi penyerangan.

“Aku harus bergerak cepat seperti hantu. Tidak terlihat tapi langsung menyergap mereka dari segenap penjuru,” batinnya lagi.

Sementara sore mulai merambat pelan menuju malam. Semburat cahaya merah tembaga terlukis di langit senja. Mentari ingin pulang ke peraduan. Bergulir pelan, patuh mengikuti Sunatullah yang mengatur.

Sayup-sayup terdengar alunan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Begitu indah dan menentramkan bagi yang mendengar. Keluar dari pengeras suara surau yang terhambat renovasi dikarenakan kekurangan dana pembangunan. Ironi yang dramatis! Tempat yang menyediakan keberkahan dan kemuliaan fitrah suci manusia harus menunggu uluran tangan para dermawan begitu lama. Padahal bila rumah Tuhan disejahterakan, maka tak segan-segan pula rahmat dari Yang Maha Pengasih tercurah bagi seluruh penduduk kampung itu.

Setelah beberapa saat Jaya menghilang menuju kolam guraminya. Tiba dari pasar Kak Ruhiya. Lalu datang pula Yanto sepulang mengaji. Dua beranak itu menjalani rutinitas dengan tekun, sekalipun telah lima tahun ditinggal mati sang bapak sebagai tulang punggung keluarga. Kak Ruhiya berjualan pakaian bekas dari Batam untuk menafkahi diri, anak dan adik bungsunya Jaya yang suka berprilaku aneh. Namun kehidupan keluarga ini begitu tentram dalam kebersahajaan mereka penghuninya. Jarang sekali terdengar mereka mengeluh oleh himpitan ekonomi yang menyulitkan rakyat kecil. Kerja dan do’a merupakan payung mereka dari terpaan deras kesulitan yang senantiasa dihadapi. Mungkin juga disebabkan Kak Ruhiya yang pandai mengatur ekonomi keluarga.

“To.. Yanto... Yanto...!” panggil Kak Ruhiya pada anak semata wayangnya.

“Ya, makkk...!” sahut Yanto setengah berteriak dari dalam kamar menuju dapur.

“Sudah pulang kau rupanya!”

“Iya, mak. Barusan saja,” jawab Yanto sambil melangkah keluar kamar.

”Kemarilah. Mak bawakan gulai cincang kesukaanmu, nih! Makan lah dulu. Sudah makan nanti, kau tolong emak carikan Acik Jaya mu itu,” ujar Kak Ruhiya lembut.

Mata Yanto berbinar-binar ketika melihat gulai cincang dalam mangkuk. Ia tak menyimak pasti apa yang disuruh emaknya barusan. Benaknya hanya terbayang kelezatan gulai cincang bawaan sang bunda dari pasar.

”To, dengar tidak kau?! Tolong emak cari Acik Jaya mu sehabis makan ini,” ulang emak Yanto lagi.

”Iya, mak. Yanto makan dulu,” jawab Yanto cepat sambil mengambil piring makan.

Kak Ruhiya tersenyum sendiri melihat kelakuan anaknya kini.

Setengah jam kemudian, dapur senyap. Kak Ruhiya baru saja selesai sholat Maghrib. Masih mengenakan mukena, ia pergi ke dapur. Di sana tak ditemuinya Yanto.

Kak Ruhiya beralih ke kamar tidur anaknya. Yanto pulas terlelap di atas ranjang.

”Dasar ular sawah! Habis makan, langsung tidur. Disuruh cari Aciknya, malah tidur. Hari Maghrib bukannya sholat!” panjang omelan Kak Ruhiya pada anaknya.

”Bangun! Bangun cepat!” didorong-dorongnya Yanto.

“Cepat mandi dan sholat sana!”

“Iiiiya, mak” jawab Yanto gugup setengah sadar dikejutkan emaknya.

Lain yang terjadi di dalam rumah, lain pula yang terjadi di pinggir kolam ikan. Jaya diam-diam merayap mendekati gerombolan berang-berang. Walaupun suasana temaram, ia mengendap-endap dan menyeruak masuk ke dalam semak. Langit senja makin memudar merah saganya. Berganti dengan kelam pertanda malam. Suara jangkrik riuh meningkahi.

Berang-berang makin menjadi mengubek-ubek kolam. Tak terpengaruh akan kehadiran Jaya yang mengintai mereka. Seakan-akan tengah menikmati pesta besar makan ikan yang selalu mereka nantikan. Jaya? Tentu saja mereka lupakan.

Melihat keadaan sedemikian, hati Jaya bertambah geram. Kehadirannya sama sekali tak digubris berang-berang. Ia mengeluarkan dua ikat mercon cabai dari dalam tas ransel. Senapan ikan dipasangi sebatang bambu rautan bermata besi tajam runcing. Tak dapat dipungkiri sebuah kancah pertempuran seru akan tercipta kini.

”Hmm, tunggu kalian. Tunggu pembalasanku!” gumam Jaya geram. Gemeletuk suara gerahamnya berlomba dengan senandung riuh jangkrik ketika itu.

”Aku akan buat mereka panik dengan mercon-mercon ini. Begitu mereka panik, baru kutembaki dengan senapan ikan,” strategi penyerangannya mengatur gerak Jaya.

“Cresssssshh.. Cressshh..” mercon-mercon cabai mulai disulut.

“Tarr... Tlatarr.. Tarr.. Tarr..” suara letusan mercon-mercon yang dilempar Jaya membuat panik gerombolan berang-berang.

Asap mengepul. Membumbung bergulung-gulung laksana medan pertempuran sesungguhnya. Riuh rendah kebisingan terdengar. Ditambah pula teriakan kegirangan Jaya karena serangan dadakannya berhasil.

“Wuahahahaha..haha..ha..ha.. Rasakan pembalasanku, berang-berang penganggu!” Jaya melompat-lompat sambil tertawa. Berang-berang lari terbirit-birit.

“Ooo, kalian jangan lari... Jangan jadi pengecut, kalian semua! Nikmati dulu peluru senapan ikanku!” sigap Jaya membidik seekor berang-berang yang baru sadar tengah diserang.

”Blassssssh... Swinnnnggggg...” peluru senapan ikan melesat cepat. Tepat menembus leher seekor berang-berang. Hewan itu terhuyung-huyung. Bambu rautan bermata besi pipih tajam tertancap di lehernya.

”Mampus kau! Belum tahu sama Abdul Jaya,” seru Jaya bersemangat.

”Aku lebih dari kalian semua! Aku Sang Maha Raja Berang-Berang. Inilah upah menggangu ikan-ikan guramiku. Wuaaaahaha..ha..ha..ha..haaa....!” makin panjang saja suara tawanya saat itu.

Di muka rumah Kak Ruhiya berdiri menanti adiknya, Jaya yang tengah sibuk bertempur itu. Masih ia mengenakan mukenanya. Bertanya-tanya heran ia dalam hati.

”Kemana belut berkuping satu itu. Sudah sore tadi aku tidak dijemputnya, malah Maghrib tidak pulang ke rumah pula,” resah ia membatin sendiri. ”Makin aneh saja kelakuan adikku satu ini.”

”Yanto, kemari nak sebentar,” panggilnya lembut kepada Yanto.

”Ada apa, mak?”

”Tahu kemana perginya Acik Jaya mu, nak? Masa dari tadi belum pulang juga.”

“Motornya ada, tidak mak?” tanya Yanto heran.

“Tak tahulah. Emak belum lihat juga. Coba kau lihat di samping rumah.”

Bergegas Yanto pergi ke samping rumah.

“Motor Acik ada, makkk!” teriak Yanto

”Hmmm... Berarti dia kini sudah pulang. Tapi ada dimana sekarang?” makin bingung Kak Ruhiya kini.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara Jaya bernyanyi di luar rumah.

“Med baret coklat, jidatnya mengkilap... Kalau menyerang pasti secepat kilat, yo..yo..yo.. asikk..” yel-yel serdadu tempur keluar parau dari mulut Jaya. Susul-menyusul diiringi suara kaleng kosong yang ditabuh ritmis. Lantang terdengar sampai ke dalam rumah.

”Huhh... Ini dia belut berkuping yang kutunggu dari tadi,” gumam Kak Ruhiya dongkol ketika mendengar suara cempreng adiknya di luar sana.

“Makkk.. itu suara Acik Jaya,” seru Yanto pula.

“Iya, memang suara Acikmu yang ngawur itu.”

“Halo, Kak Ruhiya sayang.. How’re you today? You look so beautiful, you know? Hayo.. tolak pinggang gichu, gaya kakak makin asiiiik!” tanpa memperdulikan mata kakaknya yang mendelik, Jaya malah cengengesan mengguraui.

“Eitsss…! Senyum dong? Hehehehe!” Jaya cengar-cengir kuda dengan wajah belang-belang bercampur keringat.

“Heh.. belut berkuping!” bentak Kak Ruhiya seketika. “Dari mana saja kau, wereng coklat?”

”Siap! Lapor! Segerombolan berang-berang telah disapu bersih!” ala militer pula gayanya kali ini.

“Nah...nah.., itu apa pula bergelayut di pundak kau?!?!” tak terlalu pasat rupanya Kak Ruhiya melihat seekor berang-berang mati di pundak Jaya. Temaram suasana malam melamurkan pandangan matanya.

“Siap! Izin mendekat, komandan!”

“Komandan...komandan.., jidat kau!!” hardik Kak Ruhiya.

”Sabar dulu, Kak... Kan orang sabar jidatnya lebar. Buktinya jidat Kakak sendiri, kan?”tambah jadi Jaya mencandai Kak Ruhiya.

“Kurang ajar kau, yaa… Cepat kau kemari!”

”Hahh?!?! Apa ini, Jaya?!?!” terkejut bukan kepalang Kak Ruhiya mendapati bangkai berang-berang menggantung pasrah di pundak Jaya.

”Ini mau kau rupanya, huhh!” sambil menjewer daun telinga, ia menyeret masuk adiknya.

”Aduhhh..aduhhh..aduh... Ampun Kak... Ampunnn..” raung Jaya kesakitan. Pelintiran meremas dari jeweran kakaknya erat menempel tak sudi lepas lagi.

”Sudah kau buat aku menunggu berjam-jam di kios sore tadi. Sekarang malah muncul bawa bangkai berang-berang ke dalam rumah. Belum lagi muka kau belang-belang mirip luak bikin orang ngeri.”

”Sudah, Kak... Ampunnnn... Lepaskan jewerannya, perih...” Jaya memohon-mohon sambil meringis menahan sakit. ”Janji... Kak... aku takkan seperti ini lagi.”

”Jangan janji-janji pula kau. Tadi siang kau bilang mau jemput sebelum tutup kios. Kemana saja kau keluyuran, hah?!?!”

”Hari Maghrib bukannya kau sholat, eeh malah main-main di kolam. Cepat kau mandi sana, monyet!” bentak Kak Ruhiya lagi.

Tergesa-gesa Jaya berlari menuju kamar mandi. Telinganya yang terasa pedas, ia usap-usap. Kak Ruhiya geleng kepala saja menyaksikan tingkah laku adik remajanya itu. Ia mangkel sekali. Ia memang paling tak suka kalau siapa pun di dalam rumah mulai berani berbohong dan ringan mengucapkan janji. Karena seringan-ringan kapas, memang masih kalah ringan dengan berjanji. Dan perangai ini berbahaya bila menjadi kebiasaan.

Kak Ruhiya hanya ingin keluarganya menjunjung tinggi kejujuran. Ia juga mau anak dan adiknya pandai memanfaatkan waktu. Bukan menyia-nyiakan waktu melakukan hal yang tak bermanfaat sama sekali. Tidak ada nilai yang lebih tinggi daripada kejujuran dan kerja keras bagi Kak Ruhiya. Kejujuran mencerahkan jiwa dan menciptakan sikap amanah. Kerja keras mengangkat nilai harkat manusia. Demikian prinsip yang ia pegang teguh dan jalankan selama ini.

Saat ini walaupun masih mendongkol, tak terbersit rasa benci dalam hati pada adiknya. Memang orang-orang yang hidup dalam kebersahajaan seperti mereka, lebih jujur pada diri mereka sendiri dan saling mengasihi satu sama lain.

Kebahagian tak sungkan-sungkan mampir ke gubuk kayu. Ketika penghuninya semata ingin bernaung di bawah atap kejujuran dan senantiasa saling menjaga.

Di Tulis oleh M.Ichsan

No comments:

Post a Comment

Silahkan anda beri komentar disini, saran dan masukannya sangat berguna untuk saya, saya akan berkunjung balik pada anda, jangan berbuat Spamm.! Terima kasih.

Situs Jual Beli

Situs Jual Beli
Portal Iklan Gratis Indonesia